Langsung ke konten utama

Postingan

Jakarta Kota

 #catatanperjalanan Hingar bingar Kota Metropolitan yang sebelumnya hanya terbayang dalam pikiran, sekarang sudah tergambar jelas dalam pandangan. Cerita- cerita tentang Jakarta yang cukup sering aku temukan dalam bacaan dan tontonan, sekarang sudah bisa kurasakan sendiri rasanya. Pada gemerlap lampu jalanan, bising kendaraan dan gelapnya langit malam, masih cukup banyak kutemukan beberapa aktivitas manusia di dalamnya, bahkan hingga pukul duabelas malam. Angkringan dan warung- warung dalam tenda masih ramai pembeli, dengan hiburan live musik maupun yang terputar melalui kaset atau youtube yang disambungkan melalui bluetooth ke pengeras suara. Suasana baru yang tentu baru pertama kali ini kutemukan di Kota Jakarta. Tengah malam kala itu, tak hanya diisi oleh manusia yang bersiap untuk istirahat, namun diisi pula oleh kalangan manusia yang justru menunggu malam yang membawa secercah harapan penghasilan. “ Tahu bulat digoreng dadakan, limaratusan…..” Suara abang- abang tahu bulat dal...
Postingan terbaru

Obrolan di Pos Satpam

Sore itu, hujan di Kota Jogja membawaku singgah pada satu bangunan kecil dan asing yang tersembunyi di balik kokohnya tembok salah satu rumah sakit di sudut kota. Aku menemukan tempat itu tanpa sebuah perencanaan dan kesengajaan. Sebab begitu cerobohnya aku yang lupa membawa mantel hujan di jok motor, aku terpaksa menerjang derasnya hujan dan perlahan menyusuri gang-gang sempit berharap menemukan sebuah masjid yang setidaknya bisa ku jadikan tempat berteduh. Namun bukan masjid yang kutemukan, melainkan bangunan pos satpam yang berada jauh di pojokan jalan. Aku tidak memiliki alasan lain untuk berhenti di tempat itu selain hanya untuk singgah dari ramainya air langit yang tak kunjung berhenti. Selepas aku turun dari motor, disapalah aku oleh seorang pria tua bermasker putih dan berseragam biru batik. " Mbaknya mau kemana? Itu jalan buntu Mbak, ndak bisa dilewati," ujarnya. " Nuwun sewu nggih Pak, apakah saya boleh izin untuk berteduh sebentar di sini?" tanyak...

Realitas Menjadi Seorang Ibu Rumah Tangga

  "Menjadi seorang Ibu adalah pekerjaan seumur hidup, ngga gampang, ngga ada tempat kursusnya juga. Ibu juga masih harus selalu belajar. Terus tumbuh dan berproses bersama dengan anak- anaknya. Jadi maafkan yaa, kalau Ibu kadang masing ada kurangnya," kata Ibuku. Iya, tulisan ini lahir karena beliau. Setiap hari, tiada kata bosan aku menganguminya. Sudah duapuluh tahun ini, dan pasti akan selama-lamanya, rasanya kagumku ngga akan pernah berkurang.  Menjadi seorang Ibu rumah tangga acap kali dipandang sebelah mata. Pekerjaan ini masih sering dianggap sebagai pekerjaan yang enak dan sepele sebab tidak menghasilkan keuntungan secara ekonomi. Ibu rumah tangga juga sering dicap sebagai sosok perempuan dengan pendidikan rendah dan minim pengetahuan karena memilih untuk tidak bekerja di sektor publik maupun swasta. Padahal pada realitasnya, justru pekerjaan ini adalah pekerjaan 24 jam non stop yang tentu tak hanya menguras pikiran tetapi j...

Terima Kasih, Senja

Untuk Senja Lintang Permata .  Terima Kasih sebab kamu sudah memilih namaku untuk diletakkan pada ruang hatimu. Senja kamu tahu, sejak mengenalmu aku sama sekali tidak merasakan sebuah kepahitan, sebab senyum manis yang selalu kau tujukan kepadaku sudah cukup untuk membuatku bahagia. Semua hal yang sudah kita lewati tak lepas dari peranmu yang selalu bisa membuatku merasakan kenyamanan. Kenyamanan yang membuatku selalu saja ingin hadirmu di sisiku.  Senja, maaf jika caraku bertindak atasmu membuat perasaan cinta dalam dirimu perlahan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Seperti yang kamu tulis di suratmu, bahwa perasaan kita adalah satu hal yang tidak bisa kita kontrol ada dan hilangnya. Ia bisa timbul hanya karena perlakuan, namun bisa juga menghilang tanpa perlu kita hilangkan.  Senja, aku tak akan memintamu untuk berhenti mencintaiku. Aku hanya minta agar kamu jangan berusaha untuk menghilang. Aku tahu mungkin ini terkesan bagai sebuah keegosian, namun ...

Surat untuk Jendral

Teruntuk Jendral Baskara, aku mendeklarasikan perasaanku yang sudah sedari lama jatuh padamu. Meski aku sadar dan paham bahwa pada akhirnya kecewalah yang akan aku dapatkan. Kamu pernah berkata bahwa mencintaimu adalah sebuah kesia-siaan, karena pada akhirnya tak kan mampu perasaanku ini menembus dinding pertahanan hatimu.  Kamu salah Jendral. Aku ngga merasa bahwa ini adalah sebuah kesia- siaan. Perasaan yang aku miliki adalah tanggung jawabku, begitu pula dengan perasaanmu. Aku mencintaimu, dan kamu ngga berhak untuk melarangku. Perihal balasanmu, aku pun ngga berhak untuk memaksakannya.  Pada akhirnya nanti, jika memang sama sekali tak pernah ada dirimu berniat untuk mencoba membuka hatimu untukku, tolong jangan memaksaku untuk berhenti. Berhenti berjuang atas perasaan yang sudah lama kupendam ini. Jangan pernah memaksaku untuk melupakan kamu beserta semua kenangan kita. Namun sekali ini saja, tak bisakah kamu sedikit membalas perasaan ini? Walau pun itu hanya s...

Harus Kubawa Kemana Langkah Ini?

Mengapa Kau tinggalkan aku pada ruang- ruang kecemasan?  Kecemasan akan hal yang belum sempat tuntas kita bicarakan.  Tak mengapa bila memang Kau ingin pergi,  Namun, bukankah pergi tanpa pamit adalah sebuah keegoisan? Kumencoba untuk memahamimu. Namun nyatanya hatimu sudah tak lagi bisa kumasuki. Bahkan, hanya untuk sekedar mampir saja pintu hatimu sudah tertutup rapat.  Tuan, bisakah sekali ini saja kau datang dengan penjelasan? Agar aku tahu harus melangkah kemana lagi setelah ini.   Haruskah aku mundur, atau menetap di sini dan mengunci hatiku agar tak dapat dimasuki oleh penghuni lain. Bantul, 7 Juli 2021  21.47

Kita yang Tak Bisa Bersama

Suatu saat pasti akan ada masa di mana kita akan berbeda jalan. Kau ke selatan, dan aku ke utara. Kau membawa mimpi- mimpimu terbang di langit berbintang dan aku membawa semua mimpiku terbang dengan langit yang diselimuti terang. Iya, itu pikirku. Aku menganggap bahwa "suatu saat" itu adalah waktu yang masih lama, mungkin 2, 3 atau beberapa tahun lagi ke depan.  Hingga akhirnya pada suatu malam, kau berkata "Kita memang harus mengakhiri ini."  Aku terdiam. Bukan, bukan aku tak mau menjawab, hanya saja rasanya mulutku seperti terbungkam oleh angin malam.  "Lantas mengapa kita harus memulai?" jawabku yang sejujurnya masih diselimuti ragu. Kau hanya tersenyum. Katamu bahwa memang ada hal yang harus terpaksa menemui kata henti apabila tak ingin ada hati yang tersakiti. Alasanmu cukup masuk di akalku. Bahwa memang sekarang sudah sampai pada waktu di mana kita akan berjalan pada jalan masing- masing. Bertolak belakang dan tak mungkin menemui kata satu.  Dan seja...