Sore
itu, hujan di Kota Jogja membawaku singgah pada satu bangunan kecil dan asing
yang tersembunyi di balik kokohnya tembok salah satu rumah sakit di sudut kota.
Aku menemukan tempat itu tanpa sebuah perencanaan dan kesengajaan. Sebab begitu
cerobohnya aku yang lupa membawa mantel hujan di jok motor, aku terpaksa
menerjang derasnya hujan dan perlahan menyusuri gang-gang sempit berharap
menemukan sebuah masjid yang setidaknya bisa ku jadikan tempat berteduh. Namun
bukan masjid yang kutemukan, melainkan bangunan pos satpam yang berada jauh di
pojokan jalan. Aku tidak memiliki alasan lain untuk berhenti di tempat itu
selain hanya untuk singgah dari ramainya air langit yang tak kunjung berhenti.
Selepas
aku turun dari motor, disapalah aku oleh seorang pria tua bermasker putih dan
berseragam biru batik.
"
Mbaknya mau kemana? Itu jalan buntu Mbak, ndak bisa dilewati," ujarnya.
"
Nuwun sewu nggih Pak, apakah saya boleh izin untuk berteduh sebentar di
sini?" tanyaku.
Sempat
ragu akan jawaban Bapak Satpam itu, tapi ternyata lampu hijau lah yang
diberikan —alias aku boleh neduh di pos satpamnya—
“
Ini Mbak, boleh silakan diminum” ujar Bapak satpam tersebut sembari memberikanku
sebotol air mineral yang ukurannya cukup kecil. Awalnya aku ingin menolaknya,
namun Ibu memang pernah berkata kalau diberi sesuatu ya sebisa mungkin diterima
saja sebab itu adalah salah satu wujud menghargai si pemberi.
Cukup
lama aku meneduh di bangunan putih kecil ini, ditemani air hujan yang justru turun
semakin deras. Aku memang suka sekali mengobrol dengan orang baru yang kutemui,
jadi untunglah aku tidak canggung ketika Bapak satpam memulai sebuah pembicaraan.
Pembicaraan
itu mengalir begitu saja, Bapak satpam bercerita tentang masa mudanya yang
memang katanya cukup “mbeling” hingga keluar dari universitas sewaktu
berada di tengah- tengah semester sebab memilih untuk melakukan hobinya saja
yaitu memancing. Beliau bilang, Ia tidak menyesali pilihannya tersebut, yaa
sebab beliau nyaman saat melakukannya. Segala sesuatu yang dilakukan dengan
kenyamanan memang pasti tidak ada meninggalkan penyesalan. Bapak satpam
tersebut juga berkata, bahwa jalan hidup yang Ia pilih tersebut dan juga sudah
membawanya berada di posisi sekarang memang terkadang membuat rasa kecewa
sedikit muncul, namun apa salahnya berdamai dengan keadaan?
“Kalau
kita bisa bahagia di posisi kita sekarang ini, saya rasa itu sudah cukup Mbak,”
ujarnya sembari menyeruput teh hangat di tangan kanannya.
“Anak
saya juga sama kaya saya, ngga mau lanjut kuliah malah hobinya main dan juga
mancing. Awalnya yaa saya marah Mbak, cuma yaudah lama- lama saya biarin aja
sambil terus dipantau. Hidup Dia kan juga seutuhnya miliknya, Dia juga sudah
dewasa, saya rasa Bapaknya ini ngga berhak ngatur Dia kudu gini atau gitu, asal
Dia bisa bertaanggungjawab atas pilihannya ya wes saya ikuti aja maunya.”
Sungguh,
sama sekali aku tidak menyangka. Pertemuan tanpa sebuah perencanaan ini justru banyak memberikanku pelajaran. Bapak satpam
tersebut adalah contoh orang tua yang membiarkan anaknya merdeka. Merdeka atas
dirinya sendiri dan dengan bebas memilih jalan hidupnya. Bapak Satpam tersebut
juga memberikanku banyak sekali wejangan, salah satunya memintaku untuk terus
bersyukur atas apapun yang sudah aku dapatkan, sebab aku juga bercerita bahwa
kedua orang tuaku membebaskanku untuk memilih jurusan di perkuliahan yang
memang cukup jarang diketahui masyarakat.
Waktu terus berjalan, hujanpun mulai mereda. Aku kemudian pamit untuk melanjutkan perjalananku yang masih panjang. Obrolan singkat dengan orang baru memang terkadang memberiku banyak pelajaran baru. Tak hanya itu, mendengarkan orang bercerita juga rasanya cukup menyenangkan.
Komentar
Posting Komentar