This short story is written because inspired by Jeno Lee. One of my ultimate bias from NCT. He's always smile in every situation, but Royals (Jeno Lee's fans) know if he hide something. Happy reading, and hope you guys like it!
Aku sedang duduk sendiri di taman depan rumahku. Sebelum Devano datang, dan memarkirkan motornya di depan pagar.
"Kenapa kamu kesini?" Tanyaku pada pria yang sedang berjalan ke arahku.
"Aku datang hanya untuk melihatmu saja, Bulan" jawabnya.
"Ada apa, Dev. Apa yang sedang kamu pikirkan itu?" Tanyaku, lalu menariknya agar ia bersedia duduk di sampingku.
"Ngga ada apa- apa. Aku, hanya ingin melihatmu saja." Ucapnya sembari menunjukkan mata bulan sabitnya itu. Ya, itu berarti pertanda ia sedang tersenyum. Manis. batinku.
"Dev, aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Tolong ingat ini, kamu ngga harus memaksakan dirimu untuk terlihat tegar dan selalu tersenyum. Menangis bukan kelemahan, itu adalah bukti kalau kamu pun cuma manusia biasa yang ngga perlu terus bertindak sempurna di hadapan orang lain." Aku menatap Devan. Sorot matanya yang terlihat sendu membuatku cukup memiliki nyali untuk menggengam tangan hangatnya.
"Aku cuma ngga pengen dunia menganggapku sebagai sosok lemah, kamu tahu bukan bagaimana diriku? Ya, aku sadar bahwa selama ini aku sudah berpura- pura terlalu jauh. Tapi itu semua karena kenyataan bahwa memang dunia akan bisa menerimaku jika aku kuat." Jawabnya dengan raut wajah muram. Ia tak membalas genggamanku. Tangannya terlihat lemah di balik badannya yang gagah dan tegap itu.
"Kamu ngga perlu jadi seseorang yang dunia ini mau, Dev. Kamu hanya perlu jadi dirimu sendiri. Dunia ini juga ngga hanya diisi dengan orang- orang yang akan selalu menuntutmu macam- macam kok. Jangan lupakan bahwa kenyataan akan dirimu akan diterima dengan baik di dunia yang tepat. Jadi kamu hanya perlu mencari siapa duniamu itu, tanpa perlu takut untuk menunjukkan segala sisi yang ada di dalam dirimu."
"Aku masih ngga tahu, apakah akan ada yang mau menerima sosokku yang terlihat kuat namun pada kenyataannya lemah ini? Semua orang yang bahkan sudah kukenal pun kurasa ngga pernah sadar akan hal itu. Aku masih belum siap untuk menunjukkan sisi lemahku."
"Bukan. Kamu bukan ngga tahu, tapi kamu itu ngga sadar. Devan, kita sudah kenal lama, aku pikir selama ini kita sudah cukup dekat dan bisa mengerti satu sama lain. Namun nyatanya sebaliknya. Selama ini hanya aku saja yang memperhatikanmu, yang mencari tahu tentangmu, dan baru kusadari juga bahwa hanya akulah yang selalu menanyakan kabarmu. Dev, aku selalu mengerti kamu, aku selalu bisa memahamimu bahkan hanya dengan melihat matamu. Aku ingin menjadi duniamu. Dunia yang bisa kau jadikan tempat bercerita, berkeluh kesah, dan menjadi sandaran jika kau rapuh. Aku ngga akan menuntutmu untuk bisa terus berada di sisiku, bahkan dengan melihatmu dari kejauhan dengan senyuman lebar yang kau perlihatkan, itu sudah cukup. Cukup bagiku. Kamu hanya perlu melihatku sebagai seseorang yang bisa menerima kamu apa adanya, sehingga kamu ngga harus berpura- pura dengan dunia yang kamu miliki itu." Devan menatapku, membalas ganggaman yang sedari tadi ia abaikan.
"Maaf Bulan. Bukan aku mengabaikan atau tak peduli terhadapmu. Aku memang merasa bahwa aku adalah sosok yang tak bisa memahami diriku sendiri. Aku sadar kok, kalau kamu adalah orang yang selalu ada di sisiku bahkan di saat- saat terlemahku. Aku hanya, tak dapat mengungkapkan perasaanku di depanmu."
"Kamu ngga perlu minta maaf. Aku paham kok. Salahmu bukan kepadaku, tapi ke dirimu sendiri. Aku ngga berharap macam- macam dari pembicaraan malam ini. Aku hanya ingin bahwa kamu kembali menjadi Devano yang kukenal dulu. Yang bisa tersenyum tanpa harus membohongi dirinya sendiri." Jawabku dengan senyuman. Kulepaskan genggaman tanganku.
"Sudah malam, kamu pulang sana. Jangan lupa, minta maaf dulu sama dirimu sendiri!" Aku menariknya agar ia mau beranjak dari kursi kayu tua ini.
"Bulan, aku akan selalu ingat pesan- pesanmu tadi. Dan ya benar, aku sudah menyadari bahwa memang aku harus menerima apapun yang aku miliki, aku ngga akan bersembunyi lagi atau bertingkah palsu di hadapan orang lain. Ternyata selama ini aku sudah memiliki dunia yang tepat. Hanya saja aku terlambat menyadarinya. Terima kasih, karena kamu sudah mau menjadi duniaku. Kedepannya, ayo kita saling terbuka. Bercerita dan saling mendengar. Kita akan menjadi sandaran bagi satu sama lain yang sedang rapuh." Ia berkata dengan nada suaranya yang lembut. Tersenyum lalu mengusap rambutku.
"Udah yaa, aku pulang dulu. Selamat malam." Jawabnya melanjutkan.
"Iyaa, hati- hati Devan!"
Aku terus menatap kepergiannya, hingga punggung sudah tak lagi nampak pada mata dan suara motornya sudah tak terdengar lagi pada telinga. Satu hal yang selalu kuminta pada Tuhan, agar ia bisa selalu berbahagia tanpa dipenuhi dengan kepalsuan.
Bantul, 2 April 2021
Komentar
Posting Komentar